Kadang, hidup itu suka ngajarin hal-hal random di momen yang nggak terduga. Contohnya? Ikut acara besanan di pernikahan anak tetangga. Awalnya, niatnya cuma nemenin ibu biar nggak sendirian, eh malah pulang-pulang bawa pelajaran hidup soal gimana toxic-nya manusia kalau udah ngumpul. Jadi, duduk yang manis, gengs. Aku bakal cerita pengalaman absurd sekaligus nyebelin ini dengan gaya santai, biar kalian nggak cuma mikir, tapi juga ketawa kecil.
Toxicity Starts Here
Jadi gini, anaknya Bu Haji di kampungku mau menikah. Sebagai tetangga yang nggak bisa nolak ajakan ibu, aku ikutan rombongan ibu-ibu ke acara tersebut. Bayangin aja, aku yang Gen Z ini tiba-tiba nyempil di angkot bareng 5-8 orang ibu-ibu tetangga. Awalnya biasa aja, sampai perjalanan dimulai, boom, drama kehidupan dimulai.
Di sepanjang jalan, topiknya nggak jauh-jauh dari gosip. Nggak peduli itu soal tetangga lain, pengantin, atau bahkan tamu undangan, semua dibahas! Yang bikin ngakak sekaligus miris, mereka tuh ngomongin orang yang di depan bisa senyum manis banget. Tapi di belakang? Ya ampun, jeleknya orang itu kayak dijadiin bahan sambel, diulek-ulek sampai halus.
Drama Suami-Istri yang Bikin Kepala Pusing
Nah, highlight gosip kali ini adalah cerita sepasang suami-istri muda. Kata ibu-ibu, si istri itu marah-marah nggak jelas ke suaminya yang diem aja sepanjang malam. Mereka bilang, "Istrinya lebay banget sih, padahal suaminya rajin nyuci baju, ngurus rumah, istrinya tinggal ongkang-ongkang."
Tapi aku, sebagai sesama perempuan, punya pikiran beda. Siapa tahu ada alasan besar kenapa si istri marah? Mungkin ada drama yang nggak keliatan? Sayangnya, ibu-ibu ini main judge aja tanpa tahu cerita utuhnya. Bahkan sampai ada yang bilang, "Suaminya mending ceraikan aja si istri, balik ke rumah orang tuanya." Hellooo, kok gampang amat ya ngomongin cerai?
Sampai di Tempat Acara: Drama Lain Dimulai
Akhirnya sampai juga di lokasi. Tapi ya gitu, acara belum dimulai, mempelai belum datang, ibu-ibu udah ngeluh duluan. Sampai akhirnya si pengantin muncul dan minta tolong bawa seserahan, eh si ibu-ibu malah ogah gerak karena udah mager. Aku cuma bisa melongo, "Bukannya tugas besan tuh buat bantu-bantu ya?"
Setelah drama nunggu, rangkaian acara dimulai dan ditutup dengan buffet prasmanan. Lagi-lagi, gong-nya ada di sini. Ibu-ibu ini nggak mau antri, langsung motong barisan kayak nggak ada dosa. Aku yang tahu etika cuma bisa sabar antri di belakang sambil mikir, "Gini amat ya?"
Masalah belum selesai, mereka ngeluh soal makanan yang disajikan. "Kok rendangnya cuma satu potong? Gue kan amplopnya gede." Lah, itu prasmanan, gengs, biar adil buat semua tamu. Tapi ya namanya ibu-ibu toxic, makanan pun bisa jadi bahan gosip di angkot sepanjang jalan pulang.
Kesimpulan & Pelajaran
Setelah drama demi drama, aku sadar satu hal penting: undang besan yang nggak terlalu deket itu kayaknya nggak wajib deh. Apalagi kalau cuma tetangga yang lebih sering bikin ribet daripada ngebantu. Intimate wedding lebih masuk akal; undang keluarga dan teman-teman dekat aja, biar suasana lebih hangat dan bebas dari drama.
Karena ya mau pesta semewah apapun, kalau yang diundang nggak tahu diri, tetap aja bakal jadi bahan gosip. Mending uangnya buat tabungan masa depan, kan? Percaya deh, nggak ada pesta yang sempurna di mata orang yang nggak bisa bersyukur.
Penutup
Jadi, buat kalian yang mau nikah atau bantuin persiapan nikahan, coba deh evaluasi lagi siapa yang perlu diundang. Jangan sampai momen bahagia berubah jadi sumber energi negatif karena salah pilih tamu. Ingat, quality over quantity!
0 Comments